Jakarta (SuratKabarBali.com) – Pakar Teknologi Plastik Wiyu Wahono membongkar sejumlah hoaks terkait bahaya bisphenol A (BPA) dalam galon berbahan polikarbonat (PC) atau galon guna ulang. Hal tersebut dia sampaikan menyusul ada yang memanfaatkan isu bahaya BPA demi kepentingan tertentu.
Narasi hoaks yang dia maksud berkaitan dengan bahaya BPA dalam galon PC yang disebut-sebut dapat mengganggu kesehatan manusia, mulai dari reproduksi hingga gangguan kehamilan dan janin serta kanker. Sementara, dalam narasi lainnya menyebutkan bahwa kemasan galon paling aman berbahan polyethylene terephthalate (PET).
Ia mendapati penyebaran informasi bahaya kandungan BPA itu sudah diarahkan karena hanya berbicara senyawa dalam satu kemasan pangan atau spesifiknya galon isi ulang saja. Padahal, kemasan galon PET atau sekali pakai juga memiliki ancaman senyawa berbahaya lain.
Namun, narasi tersebut tidak menyebutkan ancaman bahaya kesehatan yang menghantui dalam galon PET. Padahal, dalam kemasan PET mengandung antimon (Sb), Asetaldehida hingga etilen glikol (EG) yang juga bersifat karsinogenik atau beracun bagi tubuh.
“Jadi seakan-akan PET itu aman, itu disinformasi yang luar biasa jahatnya, entah dengan tujuan apa, itu yang nggak benar,” kata Doktor Sains Teknologi Plastik dari Universitas Teknologi Berlin di Jerman itu, dalam keterangan tertulis yang dikutip dari InfoPublik, Rabu (25/10).
Wiyu mengatakan bahwa sebenarnya kemasan apapun termasuk yang berbahan polyethylene terephthalate (PET) memiliki potensi bahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu, organisasi kesehatan di setiap kawasan atau negara mengatur ambang batas toleransi dari paparan kemasan pangan.
Menurutnya, selama ini para pengguna galon guna ulang yang didiskreditkan mengandung BPA juga tidak pernah mengalami gangguan kesehatan apapun. Artinya, galon tersebut memang aman untuk dijadikan kemasan pangan sehingga tidak perlu dipermasalahkan.
Dosen teknologi plastik di salah satu kampus di Jerman itu menyayangkan keberadaan isu bahaya BPA yang dihembuskan. Menurutnya, hal tersebut hanya akan menebar ketakutan dan membuat masyarakat bingung.
Dia melanjutkan bahwa sebenarnya memang terjadi migrasi senyawa kimia dalam kemasan pangan plastik apapun, termasuk galon PET dan PC. Namun, sekali lagi dia menekankan kalau migrasi yang terjadi masih dalam batas aman dan mampu diolah dan dikeluarkan oleh tubuh.
Dia menerangkan, dalam galon PC, paparan BPA yang masuk ke dalam tubuh, dikeluarkan sekitar 2 hingga 4 jam sekali melalui urine atau zat sisa. Sedangkan paparan antimon, asetaldehida dalam galon PET baru bisa diproses oleh tubuh dalam waktu 93 jam.
“Tapi tetap tidak akan terjadi akumulasi. Kalau akumulasi itu artinya menumpuk terus nggak keluar dan ini tidak terjadi. Kalo stibium (antimon) itu saya tidak tahu tapi kalau BPA ini yang tidak terjadi akumulasi,” katanya.
Dia melanjutkan, penelitian terkait BPA yang dilakukan oleh organisasi kesehatan Eropa (EFSA) dan Amerika Serikat (FDA) dilakukan dengan mengambil sampling pada hewan. Sehingga, sambung dia, tidak cocok apabila dampak yang terjadi pada hewan diterapkan langsung ke manusia.
Dia mengungkapkan, Eropa tidak melarang kemasan PC hanya kemasan yang mengandung BPA kecuali yang melebihi ambang batas aman. Artinya, sambung dia, selama masih di bawah tolerable daily intake (TDI) alias ambang batas aman masih boleh dipergunakan.
“Kalau yang mereka sebut di dunia banyak dilarang, yang dilarang adalah untuk botol bayi. Itu baru betul dilarang udah lama,” katanya.
Wiyu menjelaskan, kemasan ber-BPA pada perlengkapan bayi dilarang mengingat TDI mereka yang kecil. TDI dihitung mengacu pada berat badan setiap konsumen. Pada orang dewasa dapat disimpulkan harus mengonsumsi 48 liter air atau dua galon perhari agar BPA benar-benar berdampak bagi tubuh.
Pakar yang sudah mempelajari dunia plastik lebih dari 20 tahun itu melanjutkan, sedangkan pada botol atau dot bayi selalu dipanaskan atau diuapkan sekitar 30 menit hingga 1 jam sebelum digunakan. Suhu pemanasan tersebut bisa mencapai 100 derajat celsius sehingga berpotensi besar menyebabkan migrasi BPA dari botol ke pangan.
Galon berbahan PC dipilih sebagai kemasan AMDK lantaran memiliki kekuatan dan lebih ramah lingkungan karena dapat dipakai kembali. Wiyu mengatakan, paparan BPA dalam galon PC atau isi ulang juga terus menciut saat dipergunakan kembali.
“Jadi kalau dibuka (google) lebih banyak disinformasi (terkait BPA) dari pada yang benarnya,” katanya.
Sebelumnya, pakar hukum persaingan usaha, Profesor Ningrum Natasya Sirait melihat bahwa isu dan dorongan labelisasi BPA sarat dengan persaingan usaha. Pasalnya, hal tersebut hanya menyasar pada satu kemasan pangan, yakni galon guna ulang.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara itu pun meminta pemerintah dalam hal ini BPOM tidak memaksakan untuk memberikan label bahaya BPA pada galon guna ulang. Dia menambahkan, terlebih bahaya BPA dalam dunia kesehatan sebenarnya juga masih pro dan kontra alias ambigu.
“Jadi, ya jangan dong itu dipaksakan menjadi beban para konsumen nantinya. Sebagai pakar hukum bisnis, saya hanya mempertanyakan regulasi pelabelan BPA itu sebenarnya untuk kepentingan siapa?,” katanya.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan melihat, polemik isu BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi. Hal itu sudah jelas dilarang dalam hukum persaingan usaha.
“Sebabnya, 99,9 persen industri itu menggunakan galon tersebut. Hanya 0,1 yang menggunakan galon sekali pakai,” kata Chandra.
Secara pribadi, dia tidak setuju ada pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang. Menurutnya, pelabelan BPA itu sama saja dengan menyerahkan pengawasan kepada masyarakat.
Dia mengatakan, hal itu tidak boleh dilakukan karena pengetahuan masyarakat yang heterogen dan tidak punya tools yang dapat mendeteksi kadar BPA. Menurutnya, BPOM lebih baik membuat sistem pengawasan yang melekat pada seluruh pabrik kemasan pangan.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin sebelumnya juga telah menegaskan bahwa air kemasan galon isi ulang aman untuk digunakan, baik oleh anak-anak dan ibu hamil. Menurutnya, isu-isu seputar bahaya penggunaan air kemasan air guna ulang merupakan berita bohong. *